Pada anggota DPR melekat hak ajudikasi dan legislasi yakni berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
Pimpinan
Kedudukan Pimpinan dalam DPR dapat dikatakan sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi pokoknya secara umum adalah mewakili DPR secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, serta memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum, termasuk memimpin rapat-rapat paripurna dan menetapkan sanksi atau rehabilitasi. Pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial, terdiri dari seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR.
Komisi
Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.
Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan kerja masing-masing:
- Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.
- Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
- Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan keamanan.
- Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
- Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.
- Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah), dan badan usaha milik negara.
- Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan.
- Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
- Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
- Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
- Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan lembaga keuangan bukan bank.
Badan Musyawarah
Bamus merupakan miniatur DPR. Sebagian besar keputusan penting DPR digodok terlebih dahulu di Bamus, sebelum dibahas dalam Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang dapat mengubah putusan Bamus. Bamus antara lain memiliki tugas menetapkan acara DPR, termasuk mengenai perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian dan prioritas RUU).
Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR. Anggota Bamus berjumlah sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari anggota DPR, berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus langsung dipegang oleh Pimpinan DPR.
Badan Anggaran
Badan Anggaran DPR dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yang memiliki tugas pokok melakukan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Susunan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR. Susunan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota Fraksi.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk, misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.
BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik Anggota. Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.
Badan Legislasi
Badan Legislasi (Baleg) merupakan alat kelengkapan DPR yang lahir pasca Perubahan Pertama UUD 1945, dan dibentuk pada tahun 2000. Tugas pokok Baleg antara lain: merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran. Baleg juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR dan kode etik anggota DPR.
Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat paripurna, dan susunan keanggotaannya ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Keanggotaan Badan Legislasi tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan keanggotaan Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).
Badan Urusan Rumah Tangga
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR bertugas menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR. Salah satu tugasnya yang berkaitan bidang keuangan/administratif anggota dewan adalah membantu pimpinan DPR dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan Pegawai Sekretariat Jenderal DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
BKSAP bertugas:
- Membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
- Menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
- Mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri;
- Memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
Panitia Khusus
Jika dipandang perlu, DPR (atau alat kelengkapan DPR) dapat membentuk panitia yang bersifat sementara yang disebut Panitia Khusus (Pansus). Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan oleh rapat paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna, dan dibubarkan setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Pansus mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna.
DPR dalam permulaan masa keanggotaan dan permulaan tahun sidang DPR membuat susunan dan keanggotaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang beranggotakan paling sedikit tujuh orang dan paling banyak sembilan orang atas usul dari fraksi-fraksi DPR yang selanjutnya akan ditetapkan dalam rapat paripurna dengan tugas untuk penelaahan setiap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR.
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
Komposisi DPR saat ini adalah komposisi yang berdasarkan Pemilu 2009. Anggota-anggota DPR yang terpilih berdasarkan Pemilu tersebut mengelompokkan diri kedalam fraksi-fraksi.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPR, dibentuk Sekretariat Jenderal DPR yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPR dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR.
Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu pelaksanaan fungsi dan tugas DPR secara profesional, dapat diangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli tersebut berada di bawah koordinasi Sekretariat Jenderal DPR.
Keanggotaan DPR dipilih melalui pemilu. DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 19). DPR memegang kekuasaan membentuk UU, dan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama dan selanjutnya disahkan oleh Presiden.
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dan untuk itu DPR diberikan hak-hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta imunitas (Pasal 20). Fungsi DPR adalah sebagai berikut:
- Fungsi legislasi berkaitan dengan wewenang DPR dalam pembentukan undang-undang.
- Fungsi anggaran, berwenang menyusun dan menetapkan RAPBN bersama presiden.
- Fungsi pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945, antara lain:
- Hak interpelasi, hak DPR untuk meminta keterangan pada presiden.
- Hak angket, hak DPR untuk mengadakan penyelidikan atas suatu kebijakan Presiden/ Pemerintah.
- Hak menyampaikan pendapat.
- Hak mengajukan pertanyaan.
- Hak Imunitas, hak DPR untuk tidak dituntut dalam pengadilan.
- Hak mengajukan usul RUU
Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 21). Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu, dan pada masa persidangan DPR berikutnya Perpu tersebut harus dimintakan persetujuan DPR. Apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu harus dicabut(Pasal 22). Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, dengan syarat-syarat dan tata cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 22B).
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Visi
Visi suatu organisasi atau lembaga pada dasarnya adalah pernyataan cita-cita yang hendak dicapai atau dituju oleh lembaga atau organisasi yang bersangkutan. Secara normatif, rumusan visi tersebut menjadi pedoman dasar semua arah kebijakan, keputusan, dan tindakan yang akan dilakukan. Karena itu, visi juga merupakan pernyataan pikiran dan kehendak untuk berubah dari keadaan yang ada saat ini (das sein) ke suatu keadaan yang diinginkan (das sollen).
Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini masih terbentur pada satu masalah utama, yakni keberadaannya yang nisbi dan ‘serba-tanggung’ sebagai suatu lembaga legislatif. Gagasan dasar pembentukan sebagai suatu lembaga pengimbang (check and balance) kekuasaan, baik di lingkungan lembaga legislatif sendiri (DPR dan MPR RI) maupun di lembaga-lembaga eksekutif (pemerintah), belum sepenuhnya berfungsi secara optimal dan efektif.
Ada beberapa penyebab utama yang dapat diidentifikasi, setidaknya sampai saat ini, yakni:
- Keberadaannya sebagai suatu lembaga baru belum menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai;
- Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang baru dalam dunia politik yang belum memiliki pengalaman nyata dalam praktik-praktik sistem politik Indonesia selama ini;
- Batasan fungsi dan kewenangan yang ada belum memiliki kekuatan penuh dalam proses legislasi.
Berdasarkan masalah pokok dan mendasar itulah, rumusan visi DPD RI yang disepakati pada Lokakarya Perencanaan Strategis DPD RI, 30 Agustus-1 September 2005 adalah sebagai berikut :
Terwujudnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif yang kuat, setaradan efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Misi
Berdasarkan visi tersebut, rumusan misi DPD RI masa bakti 2004–2009, disepakati sebagai berikut:
- Memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan kesejahteraan rakyat dalam rangka memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkesinambungan.
- Mendorong perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat terhadap isu-isu penting di daerah.
- Memperjuangkan penguatan status DPD RI sebagai salah satu badan legislatif dengan fungsi dan kewenangan penuh untuk mengajukan usul, ikut membahas, memberikan pertimbangan, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, terutama yang menyangkut kepentingan daerah.
- Meningkatkan fungsi dan wewenang DPD RI untuk memperkuat sistem check and balance melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- Mengembangkan pola hubungan dan kerja sama yang sinergis dan strategis dengan pemilik kepentinganutama di daerah dan di pusat.
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggta DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22C).
DPD berhak mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahasnya yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-daerah, serta memberi pertimbangan atas RUU APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D). DPD dapat melakukan pengawasan terhadap UU yang usulan dan pembahasannya dimiliki oleh DPD.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa Anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
Hak
- Menyampaikan usul dan pendapat;
- Memilih dan dipilih;
- Membela diri;
- Imunitas;
- Protokoler;
- Keuangan dan administratif.
- Mengamalkan Pancasila;
- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
- Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
- Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
- Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
- Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
- Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
- Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.
Kewajiban
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik legislatif Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat kekuatan mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau mandat rakyat kepada Anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding” yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah.
- Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam rangka pelaksanaan Pemilu agar terselenggara sesuai asas (Iuberjudil), maka dibentuklah sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22E). KPU selain ada ditingkat pusat, juga terdapat KPU daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU (Pasal 23D).
- Badan Pengawas Keuangan (BPK)
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalamPerubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
Visi
Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang bebas, mandiri, dan profesional serta berperan aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan.
Misi
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam rangka mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi keuangan negara, serta berperan aktif dalam mewujudkan pemerintah yang baik, bersih, dan transparan.
Tujuan Strategis
- Mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen dan professional.
- BPK mengedepankan nilai-nilai independensi dan profesionalisme dalam semua aspek tugasnya menuju terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara.
- Memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan
- BPK bertujuan memenuhi kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan masyarakat pada umumnya dengan menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu kepada pemilik kepentingan atas penggunaan, pengelolaan, keefektifan, dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara.
- Mewujudkan BPK sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
- BPK bertujuan menjadi pusat pengaturan di bidang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berkekuatan hukum mengikat, yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, wewenang dan fungsi BPK sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
- BPK bertujuan untuk mendorong peningkatan pengelolaan keuangan negara dengan menetapkan standar yang efektif, mengidentifikasi penyimpangan, meningkatkan sistem pengendalian intern, menyampaikan temuan dan rekomendasi kepada pemilik kepentingan, dan menilai efektivitas tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Nilai-Nilai Dasar
Independensi
BPK RI adalah lembaga negara yang independen di bidang organisasi, legislasi, dan anggaran serta bebas dari pengaruh lembaga negara lainnya.
Integritas
BPK RI menjunjung tinggi integritas dengan mewajibkan setiap pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya, menjunjung tinggi Kode Etik Pemeriksa dan Standar Perilaku Profesional.
Profesionalisme
BPK RI melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesionalisme pemeriksaan keuangan negara, kode etik, dan nilai-nilai kelembagaan organisasi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan :
- Peradilan Umum pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan Tinggi dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
- Peradilan Agama pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Agama, pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan Tinggi Agama dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
- Peradilan Militer pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Militer, pada tingkat banding dilakukan olehPengadilan Tinggi Militer dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
- Peradilan Tata Usaha negara pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha negara, pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
- Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
- Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Ketuanya sejak 15 Januari 2009 adalah Harifin A. Tumpa.
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dan dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Calon Hakim Agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Presiden. Ketua dan Wakil MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 24A).
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota komisi yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B).
Sejarah berdirinya MK diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
- Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran olehPresiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu icon keberhasilan reformasi Indonesia. Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan voting untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2003-2008 adalah:
- Jimly Asshiddiqie
- Mohammad Laica Marzuki
- Abdul Mukthie Fadjar
- Achmad Roestandi
- H. A. S. Natabaya
- Harjono
- I Dewa Gede Palguna
- Maruarar Siahaan
- Soedarsono
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:
- Jimly Asshiddiqie, kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Harjono
- Maria Farida Indrati
- Maruarar Siahaan
- Abdul Mukthie Fajar
- Mohammad Mahfud MD
- Muhammad Alim
- Achmad Sodiki
- Arsyad Sanusi
- Akil Mochtar
Namun, pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadiyang menggantikan Maruarar Siahaan.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil menurut UUD. MK mempunyai 9 anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden masing-masing 3 orang diajukan oleh MA, DPR, dan Presiden. Ketua dan wakil ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara (Pasal 24C0). MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA (Pasal III AP).
Saat ini masih banyak pihak belum memahami secara utuh tatanan kelembagaan negara dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga sering timbul perdebatan publik dan masalah hubungan antarlembaga negara.
Apalagi, lembaga- lembaga negara telah mengalami perubahan mendasar hasil UUD 1945 Perubahan yang tentu tidak dapat dipahami berdasarkan paradigma UUD 1945 sebelum perubahan. Perubahan mendasar yang memengaruhi tatanan kelembagaan negara adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sebelum perubahan,kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Perubahan tersebut mengakibatkan :
- MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi.
- Lemmbaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sesuai dengan kedudukan,tugas,dan fungsi masing- masing.Hal tersebut mengakibatkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dengan/ atau antar-Lembaga-Lembaga Tinggi Negara tidak berlaku lagi. Kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori.Pertama, lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang kekuasaan tertentu. Kedua, lembaga-lembaga negara yang bukan pelaksana salah satu cabang kekuasaan, tetapi keberadaannya diperlukan untuk mendukung salah satu lembaga pelaksana cabang kekuasaan tertentu.
- Lembaga-lembaga yang ditentukan untuk melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur nama dan pembentukan lembaganya.
- Lembaga yang ditentukan secara umum dan menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang.Kelima, lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.Keenam, lembaga- lembaga di tingkat daerah. Berdasarkan pembagian fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945,dapat diketahui lembaga-lembaga negara yang melaksanakan tiap kekuasaan tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi adalah presiden. Pemegang kekuasaan legislatif adalah DPR.Untuk kekuasaan yudikatif ditentukan pelakunya adalah MA dan MK. Selain lembaga-lembaga negara tersebut, terdapat lembaga negara lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara dan kedudukannya sederajat. Lembaga negara lain tersebut adalah MPR yang memegang kekuasaan mengubah dan menetapkan UUD,BPK sebagai pelaksana kekuasaan auditif serta DPD yang walaupun tidak memegang kekuasaan legislatif memiliki peran dalam proses legislasi (co-legislator).
Dengan demikian lembaga-lembaga itu sesungguhnya adalah bagian dari organisasi pemerintahan secara nasional walaupun ada yang menjalankan fungsi legislasi di tingkat daerah. Jika penataan lembaga negara melalui ketentuan peraturan perundang undangan telah dilakukan, setiap lembaga negara dapat menjalankan wewenang sesuai dengan kedudukan masing-masing. Hal itu akan mewujudkan kerja sama dan hubungan yang harmonis demi pencapaian tujuan nasional dengan tetap saling mengawasi dan mengimbangi agar tidak terjadi penyalahgunaan dan konsentrasi kekuasaan.
Daftar Pustaka