Rabu, 26 Desember 2012

Kuserahkan pada Waktu


Kuserahkan pada Waktu
Posted by : Yunie Gemgi
Date : 26 Desember 2012

Pada Senin pagi yang cerah, di sebuah SMA Islam swasta yang terkenal karena siswa-siswinya yang berprestasi, sebuah langkah kaki yang mengendap diantara ratusan letusan langkah kaki, terdengar di sebuah lorong di dalam sekolah itu, sebuah langkah pelan yang tak lain dan tak bukan adalah langkah kaki milikku. Ku sengaja menelusuri lorong ini dengan langkah yang mengendap-endap, bukan karena apa. Di sini aku bukanlah siswa baru yang hendak mendaftar ke sekolah terkenal dengan rasa malu dan canggung di hadapan ratusan siswa-siswi hebat yang mengharuskanku untuk mengendap-endap sehingga tak ada yang menyadari akan kehadiranku. Bukan! Bukan semacam itu, aku hanya… yah… mungkin hanya terbiasa, hanya…
“Hey... Luthfi...!!! Ke mana aja sih dicari dari tadi.” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari seseorang di belakang tempat ku berada. Secara refleks, ku menoleh ke arah suara terdengar. Tampak empat orang sahabatku berdiri tepat lurus di belakangku. Ku melihat salah seorang terdepan dari mereka saling melipatkan kedua tangannya di depan dadanya sambil menghentak-hentakkan kakinya ke depan ditambah lagi dengan pandangan menyeringai ke arahku, aku hanya dapat menyengir dan menggaruk-garuk kepala belakangku.
Akhirnya, dapat ditebak, kami berlima melangkahkan kaki bersama menuju kelas kami, sebenarnya sih pagi secerah ini aku mau pergi ke kantin dulu, masih malas rasanya langsung menuju kelas, tetapi mau bagaimana lagi, keempat sahabatku ini mengajakku untuk segera memasuki kelas dan dengan alasan untuk belajar bersama segera di pagi ini, karena jam pelajaran pertama ini ada ujian harian. Eh, tunggu, tetapi bukan karena itu aku berjalan mengendap-endap di lorong sekolah, bukan untuk menghindari mereka juga, mungkin aku hanya terbiasa dalam melangkah pelan tanpa menimbulkan suara. Bukan berarti apa.
Di dalam kelas, aku menatap pemandangan ke luar jendela, sungguh rasanya indah, nikmat, dan nyaman merasakannya, dari dalam sini aku dapat merasakan hawa kelembutan pepohonan rindang yang melambai-lambai ke arahku. Anganku terbuai dalam keindahan alam ini, begitu hebat dan kuasanya Sang Pencipta alam ini, dari waktu ke waktu aku masih mampu merasakan betapa semakin menakjubkan alam ini di mataku, walau banyak manusia yang semakin dan semakin banyak merusaknya, seiring ku tumbuh dewasa... Seiring ku tumbuh dewasa...? Ku mengalihkan pandanganku ke arah sahabatku yang asyik berdiskusi mengenai materi pelajaran entah apa itu di pagi secerah ini di dalam kelasku ini. Ya, kelas kami memang berbeda, aku memang masih satu kelas dengan Arif, tetapi tidak dengan yang lainnya. Walau begitu, kami sering berkumpul bersama seperti ini, ya untuk berbincang seperti ini, tetapi kali ini aku tak begitu menghiraukan percakapan mereka. Aku hanya menatap keempat cowok pandai itu. Ya, kini kami sudah dewasa, sekarang kami sudah menginjak kelas tiga SMA, dan sebentar lagi.... kami akan lulus, tentunya. Ya, tentunya kami akan berpisah. Tak terasa. Waktu yang kami jalani bersama selama ini, akhirnya akan berpisah juga. Tetapi, bagaimanapun juga, setiap pertemuan selalu ada perpisahan, bukan?
“Wuoy....” tiba-tiba temanku, Rifky, membuyarkan anganku. “Melamun saja dari tadi. Hayyoo.. mikirin siapa?”
“Halah... siapa lagi? Kayak gak tahu aja.” Arif ikutan menimpali perkataan Rifky. “Paling ya nungguin anak kelas sebelah tuh datang.”
“Iya, ya. Pantas saja dari tadi melihat keluar jendela.” Balas Rifky.
“Sebentar lagi juga kelihatan, Luth.” Kini, Handoko yang biasanya suka bercanda juga ikut-ikutan menimpali. “Eh, tuh, baru saja diomongin, orangnya masuk ke kelas sini.” Mendengar ucapannya seperti itu, entah mengapa kepalaku refleks menoleh ke arah pintu kelas. Sontak ketiga temanku itu tertawa, dan Handoko kembali berkata, “Ketahuan dah... Enggak usah malu-malu gitu sama kita-kita.”
“Huss.... kalian ini ngomong apaan aja sih...” Aku mulai angkat bicara untuk mengusir ucapan mereka yang semakin melantur.
Salah seorang temanku bernama Fandi yang sembari tadi begitu serius memelototin buku di depannya mulai tertawa perlahan dan berkata melerai, “Haha.... Sudahlah kalian ini, mukanya merah tuh.”
*****

Ya, begitulah teman-temanku, selalu ada-ada saja. Mereka selalu bisa saja. Tetapi, yah, namanya juga bersahabat seperti kami ini. Hal seperti itu bisa dianggap wajar. Aku bisa menanggapinya dengan santai, karena memang kami sudah biasa bercanda. Bukan aku saja yang diledekin seperti itu, terkadang kita juga saling meledek. Sebuah ledekan dan candaan yang tidak menyakitkan bagi kami. Yah, begitulah namanya persahabatan kami.
Dan seorang cewek yang sembari tadi mereka sebut-sebut menjurus arah padaku adalah seorang cewek cantik yang tampak anggun dalam buaian jilbabnya –setidaknya bagiku- yang bernama Diah. Cewek cantik yang memang tidak satu kelas denganku, tetapi entah mengapa sering aku lirik. Bahkan, sejak aku kelas satu SMA dahulu, walaupun kami sekelas hanya di kelas duanya saja. Dan keempat sahabatku itu mengetahuinya. Jadi tidak heran jika mereka sering meledekku dan mengait-ngaitkannya dengan sosok cewek itu. Dan seperti biasanya juga, aku bisa menanggapinya dengan santai.
Tetapi kini, kondisinya berbeda, kami sudah kelas tiga SMA, dan sebentar lagi akan lulus, dan akan berpisah tentunya. Mungkin memang benar, kita masih bisa berinteraksi dan masih bisa menjalin persahabatan, tetapi tetap saja kondisinya serasa berbeda. Terlebih lagi, setelah lulus ini, aku akan menempuh ke universitas di luar kota tempatku sekarang berada, dan tentunya akan semakin sulit untuk berkomunikasi dengan mereka. Aku juga tak tahu bagaimana dengan rencana mereka, apakah mereka akan menyebar ke tempat-tempat yang semakin berjauhan, atau bagaimana. Yang pasti, persahabatan kita akan menjadi berbeda.
*****

Hari kelulusan kami semakin dekat, tak terasa waktu berlalu terlampau cepatnya. Tinggal menghitung jari, dan UNAS pun akan kami lalui, setelah itu ...
Aku tak mengerti lagi, aku tak tahu harus berkata apa.
Siang ini, seperti biasa kami berlima sedang beristirahat dan mengobrol bersama di kantin sekolah kami. Aku dan Fandi duduk berjejeran menghadap Arif, Rifky, dan Handoko. Dan seperti biasa juga, percakapan kami melantur kemana-mana. Awalnya, aku mencoba untuk membicarakan perihal UNAS nanti dan juga rencana di masa depan kita semua. Tetapi entah kenapa, bisa-bisanya mereka mengalihkan pembicaraan. Terlebih lagi Handoko, berselang beberapa lamanya dari percakapan pokok kami, tiba-tiba ia berkata, “Eh, Luthfi, enggak menyesal tuh kamu nanti?”
Terkejut dengan pertanyaannya itu, yang entah membahas apa, segera ku balik bertanya padanya, “Menyesal apanya? Apa maksudmu?”
“Itu loh.” Jawabnya sembari mendongakkan wajahnya ke arah sesuatu di belakangku, seperti menunjukkan sesuatu. Sontak saja ku menolehkan wajahku ke sesuatu di belakangku, dengan jelas aku dapat melihat sosok Diah di sana. Dan ketiga sahabatku yang lain yang juga menoleh ke arahnya segera tertawa perlahan. Aku menatap wajahnya dalam sesaat waktu, tiba-tiba aku merasakan dia sepertinya segera menyadarinya, dan menoleh ke arah kami. Aku yang terkejut segera kembali memalingkan wajahku ke arah mereka berempat, dan berkata, “Hey... apa-apaan kamu ini?”
“Ya, benar, Luth.” Rifky ikut menimpali. “Sebentar lagi kita kan lulus, dan tentunya akan berpisah. Mungkin kamu sudah enggak dapat melihat si Diah lagi setelah ini.”
Arif terlihat berusaha menahan tawanya dan ikut berkata, “Iya tuh. Mumpung ada waktu. Kan lumayan bisa untuk memperat komunikasi kalian.”
Kemudian, ucapan Handoko yang memulai percakapan melantur ini, segera mengatakan sesuatu yang semakin menyimpang, “Iya dah. Lama! langsung ungkapin saja ...”
Tanpa memberi kesempatan lagi dia untuk meneruskan ucapannya, aku segera memotong permbicaraan, “Huss.... kalian ini jangan ngomong-ngomong yang aneh-aneh, enggak enak nih di kantin.” Kemudian aku segera menoleh ke arah seseorang di sampingku, Fandi, sahabatku dari keempat sahabat yang lain yang paling tidak aneh-aneh dan paling tidak cerewet dibandingkan yang lainnya. Aku berharap ia akan mengatakan sesuatu yang setidaknya dapat menolongku untuk terbebas dari percakapan aneh ini. “Fandi, katakan sesuatu dong. Nih... anak-anak semakin aneh saja.”
Tetapi sepertinya, jawabannya tidak seperti yang ku harapkan, ia berkata, “Kalau cowok pandai dan yang terkenal hebat di sekolah kita seperti kamu ini, ku rasa enggak bakalan di tolak dah.”
Sontak ku terkejut dan menelan dahagaku dalam-dalam, dan mencoba berkata, “Wuaduch... kalian ini ngomong apaan aja sih. Enggak adakah yang bisa membicarakan sesuatu yang lebih berharga dan lebih waras dari ini.”
Tetapi namanya juga mereka, percakapan saat itu semakin menjadi-jadi. Mereka tertawa mendengar ucapanku, kemudian Rifky segera berkata, “Sudahlah, enggak usah malu gitu, Luth.”
Handoko yang ucapannya sembari tadi semakin menyimpangkan topik, kembali berkata yang aneh, “Nanti pulang sekolah mau ku antar mendatanginya, kah?”
Aku yang mendengarnya  terkejut bukan main, dan berucap, “Hey!!!” Mereka malahan hanya tertawa melihatku. “Nanti kedengaran tahu.”
“Kan kalau tahu lebih bagus, kan? Enggak usah repot-repot mengungkapkannya.” Kata Arif diiringi dengan tawaan mereka bersama.
Sejenak ku menenangkan diri diantara keramaian mereka. Berusaha memikirkan sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan ini, atau setidaknya yang dapat menolongku saat ini. Ku menjernihkan pikiranku, yang melayang entah ke mana. Handoko yang melihat gelagatku itu segera berkata, “Sudah enggak usah melamun saja, enggak usah dipikirin dah, langsung datangi saja.”
Aku tersenyum ke arah mereka, dan mereka terkejut melihat senyumku, seperti merasa aneh, kemudian aku segera bangkit dari tempat dudukku, menyanggakan kedua telapak tanganku di atas meja dan menatapi mereka satu per satu. Terlihat dengan seksama mereka memandang satu titik ke arahku. Ku tersenyum kembali menatap mereka, kemudian segera berbalik meninggalkan posisiku sebelumnya, dan meninggalkan mereka yang terdiam heran menatapku. Aku segera kembali ke kelasku, mendahului mereka yang termenung.
*****

Seusai jam pelajaran berakhir, ku melangkahkan kaki meninggalkan sekolah, mendahului keempat sahabatku itu. Jarang-jarang aku melakukan hal seperti ini, biasanya kami pergi dan pulang sekolah bersama, berjalan bergerombolan berlima diiringi candaan dan tawaan seperti orang gila. Tetapi tidak kali ini, aku berjalan sendiri meninggalkan sekolah, melangkahkan kaki diantara kerumunan langkah. Sesekali menatap, tersenyum, dan menyapa kepada teman sekolahku yang lainnya. Mereka semua berhamburan keluar seusai bel penanda pelajaran berakhir berbunyi. Ku terus berjalan sendiri tanpa ada yang menemani, hingga beberapa langkah dari sekolah, seperti yang telah ku duga sebelumnya.
Terdengar sebuah suara seseorang memanggil namaku di belakang posisiku melangkah. Empat langkah kaki berlarian kecil mendekatiku. Sudah ku duga. Itu keempat orang sahabatku. Mereka melangkah mendekatiku dan salah seorang dari mereka menepuk pundakku dari belakang. Aku menolehkan wajahku sedikit untuk melihatnya. Handoko yang menepuk pundakku itu segera berkata, “Bagaimana?” Mereka berempat segera berbaris bergerombolan mendekatiku. Seperti ada rasa penasaran di wajah mereka.
“Ya, itu tadi?” Arif segera menimpali perkataan Handoko.
“Bisa-bisanya kau menyelonong pergi dari kami tanpa mengatakan sepatah kata pada kami.” Rifky buru-buru ikut dalam percakapan.
Ku tersenyum melihat gelagat aneh mereka dan berkata dengan nada pura-pura tidak tahu, “Apanya sih? Kalian ini ngomong apaan aja sih?”
Nafas Handoko yang memburu tak menghalanginya untuk segera berbicara dengan nada cepat, “Halah... enggak usah pura-pura lupa gak sadar gitu.”
“Itu tadi loh. Percakapan kita di kantin siang ini tadi.” Rifky berkata dengan nada berusaha tenang.
“Ya, Luth. Kamu tadi jadi mengungkapkannya ke Diah?” tanya Arif padaku.
Aku hanya tersenyum dan menatap ke arah Fandi yang terdiam saja. Handoko yang tak sabaran menanti jawabanku segera memburu pertanyaan, “Jadi, bagaimana?”
Aku hanya berkata, “Bagaimana apanya?”
“Aduh.... kamu ini bagaimana sih? Diterima atau enggak?”
“Kalian ini ngomong tentang apaan sih?”
“Aduh.. Luth! Jangan mengulur dan meruwetkan masalah. Jangan berlagak bodoh gitu. Langsung saja jawab.”
Aku yang melihat gelagat aneh dari mereka, kini berganti aku yang dapat menertawakan mereka. Kemudian ku bercanda dengan mengatakan, “Coba tanya saja pada Fandi.”
Hanya dengan mengatakan hal singkat seperti itu, Handoko, Rifky, dan Arif sekilat mungkin menatap ke arah Fandi dengan mata melotot menanti jawaban. Fandi terkejut tak tahu apa, wajahnya tampak suram melihat ketiga temannya yang memelototi dirinya. Kemudian berkata, “Hah... Apa? Aku tak tahu apa-apa?”
Ketiga temanku menampakkan wajah geramnya dan kembali menatapku. Aku yang menyadari rasa penasaran mereka itu segera berjalan cepat ke depan mereka dan berbalik memandangi mereka sembari berjalan mundur perlahan. Kemudian ku tersenyum dan memandangi wajah mereka satu persatu. Ku menghela nafas sejenak untuk berkata, dan wajah mereka tampak antusias menanti jawabanku.
Segera ku berucap untuk menghilangkan rasa aneh dan penasaran mereka, “Bukankah jodoh kita ada pada takdir Tuhan? Waktu akan terus berjalan semestinya. Dan biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.”
Mata mereka terbelalak mendengar jawabanku. Sementara mereka masih menatapku dengan bingung dan heran, ku segera melangkah mundur dengan cepat. Kemudian, ku berbalik dan berlari meninggalkan mereka, sembari melambaikan tangan kananku tanpa menatap mereka.
>>>#####<<<

Sepuluh tahun kemudian. Ya, sepuluh tahun setelah kejadian itu.
Itu adalah kejadian sepuluh tahun yang lalu, yang masih tersimpan baik dalam benakku, sebuah kenangan masa remajaku. Dan kini....
Selama itu... dengan memegang prinsip hidupku dengan baik.
Seperti yang ku katakan waktu itu.
Waktu akan menjawab semuanya.
Dan kini....
Yah... Beginilah diriku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar